INDONESIAKININEWS.COM - Belum lama ini mencuat sebuah foto yang memperlihatkan temuan bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di salah ...
INDONESIAKININEWS.COM - Belum lama ini mencuat sebuah foto yang memperlihatkan temuan bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di salah satu ruang kerja di Gedung Merah Putih.
Namun, salah satu mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun angkat bicara terkait munculnya foto bendera HTI di meja kantor lembaga antikorupsi tersebut.
Dia menjelaskan kejadian itu sudah bergulir lama pada 2019, dan kembali viral setelah dikaitkan dengan pemecatan para pegawai KPK karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).
Bahkan dikutip dari sejumlah sumber berbeda, pegawai yang dituduh memajang bendera HTI di mejanya dan difoto oleh satpam itu merupakan seorang jaksa, yang diketahui pula bukan seorang muslim, dan sekarang sedang menangani perkara.
Dari pengakuan tersebut dipastikan bahwa pegawai yang memajang bendera mirip HTI itu bukanlah bagian dari 57 pegawai KPK yang belum lama ini diberhentikan.
Merespon hal tersebut, mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan pun menuturkan, bahwa isu yang muncul terkait pegawai KPK berkaitan dengan HTI bahkan hingga memajang bendera tersebut adalah sebuat skenario yang digunakan untuk menyingkirkan 57 pegawai KPK.
Semakin jelas, upaya framing ini begitu sistematis dgn agenda menyerang upaya pemberantasan korupsi.
Ini tdk wajar dan pasti ada pihak2 yg sengaja membuat skenario sekaligus menyebarkan fitnah dgn mengkaitkan sbg pembenaran penyingkiran peg KPK dgn alat TWK.
— novel baswedan (@nazaqistsha) October 5, 2021
“Semakin jelas, upaya framing ini begitu sistematis dengan agenda menyerang upaya pemberantasan korupsi,” kata Novel Baswedan, sebagaimana dikutip Pikiran-Rakyat.com dari akun Twitter @nazaqistsha, Selasa, 5 Oktober 2021.
Novel menilai hal ini sebuah kejadian yang tak wajar, dan menganggap memang ada pihak-pihak tertentu yang sengaja menyebarkan fitnah dengan menghubungkan hal tersebut guna menyingkirkan pegawai KPK melalui TWK.
“Ini tidak wajar dan pasti ada pihak-pihak yang sengaja membuat skenario sekaligus menyebarkan fitnah dengan mengaitkan sebagai pembenaran penyingkiran pegawai KPK dengan alat TWK," kata Novel.
Novel juga menyebut bahwa sejak awal isu radikal yang diarahkan kepada pegawai KPK ini, merupakan framing para koruptor agar leluasa merampok uang rakyat.
“Sejak awal sdh kita sampaikan bahwa isu radikal dsb adl framing para koruptor agar aman berbuat korupsi. Mereka bisa saja bayar orang-orang untuk buat tulisan di medsos,” kata Novel.
Namun, menurutnya saat ini seorang maling uang rakyat atau koruptor itu semakin aman bahkan terus melakukan aksinya merampok harta negara.
“Kasihan masyarakat Indonesia. Koruptor makin Jaya,” ujar Novel.
Sementara itu, sebelumnya KPK mengklarifikasi perihal bendera mirip HT di salah satu ruang kerja Gedung Merah Putih KPK Jakarta.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Sabt, mengatakan dalam peristiwa penyebaran foto bendera mirip HTI di salah satu ruang kerja Gedung Merah Putih terjadi pada September 2019.
Bahkan, tim langsung melakukan pemeriksaan terhadap beberapa saksi, bukti, dan keterangan lain yang mendukung.
KPK menanggapi surat terbuka salah seorang pegawai KPK yang sebelumnya diberhentikan terkait penyebarluasan informasi hoaks.
“Disimpulkan bahwa yang bersangkutan sengaja dan tanpa hak telah menyebarkan informasi tidak benar (bohong) dan menyesatkan kepada pihak eksternal. Hal tersebut kemudian menimbulkan kebencian dari masyarakat yang berdampak menurunkan citra dan nama baik KPK,” ujar Ali.
Selain itu, dia mengatakan perbuatan tersebut termasuk kategori pelanggaran berat sebagaimana tertuang dalam Pasal 8 huruf s Perkom Nomor 10 Tahun 2016 tentang Disiplin Pegawai dan Penasihat KPK.
Perbuatan yang bersangkutan, melanggar kode etik KPK sebagaimana diatur Perkom Nomor 07 Tahun 2013 tentang Nilai-nilai Dasar Pribadi, Kode Etik, dan Pedoman Perilaku KPK.
“Yang bersangkutan melanggar nilai integritas untuk memiliki komitmen, loyalitas kepada komisi, dan mengenyampingkan kepentingan pribadi/golongan dalam pelaksanaan tugas, melaporkan kepada atasan, Direktorat Pengawasan Internal, dan/atau melalui "whistle blowing" apabila mengetahui adanya dugaan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan komisi, tidak melakukan tindakan yang dapat mencemarkan nama baik komisi,” kata Ali.
s: pikiran-rakyat.com