INDONESIAKININEWS.COM - Sosok Jenderal Chairuddin Ismail Kapolri yang dicopot Megawati, putra Sulsel yang ditolak 102 jenderal. Mari mengen...
INDONESIAKININEWS.COM - Sosok Jenderal Chairuddin Ismail Kapolri yang dicopot Megawati, putra Sulsel yang ditolak 102 jenderal.
Mari mengenal Kapolri dari masa ke masa.
Dari 20-an Kapolri, ada sejumlah nama kontroversial karena kebijakan dan proses pengangkatannya.
Termasuk Jenderal (Purn) Chairuddin Ismail.
Dia tak senasib dengan Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang proses pengangkatannya berjalan mulus.
Jenderal Listyo Sigit Prabowo resmi menjabat sebagai Kapolri.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi melantik suami Juliati Sapta Dewi Magdalena itu di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (27/1/2021), pukul 09.30 WIB.
Dengan pelantikan itu, Komjen Listyo ikut naik pangkat menjadi jenderal bintang empat.
Namun, sejarah mencatat, jabatan kapolri tak selalu seperti itu.
Awalnya, Kapolri pilihan adalah polisi berpangkat Komisaris Jenderal (Komjen).
Korps Bhayangkara, yang punya asal usul dari pasukan pengamanan Bhayangkara zaman Kerajaan Majapahit, berubah.
Sebelum Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjabat, tercatat ada 25 nama Kapolri pendahulunya.
Dua kapolri pertama masih berpangkat Komjen.
Berikut ini daftar lengkap Kapolri sejak awal kemerdekaan Indonesia.
1. Komisaris Jenderal Polisi Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo
29 September 1945 - 14 Desember 1959
2. Komisaris Jenderal Polisi Soekarno Djojonegoro
14 Desember 1959 - 30 Desember 1963
3. Jenderal Polisi Soetjipto Danoekoesoemo
4. Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo
9 Mei 1965 - 15 Mei 1968
5. Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso
15 Mei 1968 - 2 Oktober 1971
6. Jenderal Polisi Mohamad Hasan
3 Oktober 1971 - 24 Juni 1974
7. Jenderal Polisi Widodo Budidarmo
26 Juni 1974 - 1978
8. Jenderal Polisi Awaluddin Djamin
9. Jenderal Polisi Anton Soedjarwo
10. Jenderal Polisi Mochammad Sanoesi
11. Jenderal Polisi Kunarto
12. Jenderal Polisi Banurusman Astrosemitro
13. Jenderal Polisi Dibyo Widodo
14. Jenderal Polisi Roesmanhadi
15. Jenderal Polisi Rusdihardjo
16. Jenderal Polisi Surojo Bimantoro
17. Jenderal Polisi Chairuddin Ismail
2 Juni 2001 - 7 Agustus 2001
18. Jenderal Polisi Da'i Bachtiar
29 November 2001 - 7 Juli 2005
19. Jenderal Polisi Sutanto
8 Juli 2005 - 30 September 2008
20. Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri
1 Oktober 2008 - 22 Oktober 2010
21. Jenderal Polisi Timur Pradopo
22 Oktober 2010 - 25 Oktober 2013
22. Jenderal Polisi Sutarman
25 Oktober 2013 - 16 Januari 2015
23. Jenderal Polisi Badrodin Haiti
17 April 2015 - 14 Juli 2016
24. Jenderal Polisi Tito Karnavian
14 Juli 2016 - 23 Oktober 2019
25. Jenderal Polisi Idham Aziz
1 November 2019 – 26 Januari 2021
26. Jenderal Listyo Sigit Prabowo
27 Januari 2021 – sekarang
Ada yang menyebut jika Jenderal Listyo Sigit Prabowo merupakan Kapolri ke-25, namun ada pula yang menyebut ke-26.
Kok bisa?
Hal ini terjadi sebab ada Kapolri sebelumnya yang antara diakui dan tidak diakui.
Siapa Kapolri itu?
Dialah Jenderal Polisi (Purn) Chairuddin Ismail, Kapolri yang hanya beberapa menjabat.
Chairuddin Ismail memecahkan rekor sebagai putra Sulawesi Selatan ( Sulsel ) pertama yang menjabat Kapolri.
Sebenarnya, Chairuddin Ismail menjadi Kapolri "aji mumpung", menggantikan Jenderal Polisi (Purn) Surojo Bimantoro.
Begini ceritanya.
Pada masa kepemimpinan Surojo Bimantoro terjadi polemik kekisruhan di tubuh Polri.
Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan para pendukungnya memang belakangan sukses membujuk parlemen agar menerima pengangkatan Surojo Bimantoro, meski dengan syarat.
Tetapi belakangan, muncul ironi baru: Presiden mengulangi kekeliruan dengan "memecat" Surojo Bimantoro dan mengangkat Chairuddin Ismail tanpa persetujuan parlemen.
Kemudian situasi berbalik, Surojo B Bimantoro menjadi salah satu pion DPR dalam perang politiknya melawan Presiden.
Bagaimanapun, masa bulan madu antara Surojo Bimantoro dan Presiden memang hanya sebentar.
Baru satu bulan menjadi Kapolri, Surojo Bimantoro sudah berseberangan pikiran dengan Presiden.
Mereka berbeda dalam penanganan gerakan Papua Merdeka.
Presiden Abdurrahman memperbolehkan pengibaran Bintang Kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, sedangkan Surojo Bimantoro tegas tidak menoleransinya.
Perbedaan pendapat itulah yang menurut Kepala Badan Hubungan Masyarakat Mabes Polri menjadi awal mula kerenggangan hubungan antara Polri dan Istana.
Hubungan baik tidak dapat diraih, keretakan semakin bertambah, dan Surojo Bimantoro semakin tidak populer di mata Presiden.
Kasus penangkapan dua eksekutif perusahaan asuransi berkebangsaan Kanada yang diduga terlibat dalam pembelian saham ganda menjalar menjadi persoalan diplomatik Indonesia-Kanada.
Lewat Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Presiden gagal menghentikan persoalan ini di polisi.
Penuntutan kasus itu baru bisa dihentikan setelah Jaksa Agung Marzuki Darusman ikut turun tangan.
Seiring dengan memanasnya suhu politik nasional, ketika DPR menelorkan Memorandum II pada Mei lalu, lagi-lagi polisi dituding tidak bersikap adil oleh Presiden.
Polisi, misalnya, dituding terlalu ketat melakukan razia terhadap para pendukung Presiden yang hadir ke Jakarta untuk mengikuti "doa politik" mempertahankan Presiden Abdurrahman Wahid, sementara mereka membiarkan demonstran yang membawa pedang ke Istana.
Puncak ketegangan hubungan Presiden dengan Kapolri terjadi menyusul penanganan demonstrasi para pendukung Abdurrahman Wahid di Pasuruan, Jawa Timur, Juni lalu.
Dalam insiden itu, jatuh satu pendukung Presiden, tewas diterjang peluru aparat.
Presiden marah besar.
Ia menuduh polisi tidak proporsional menembak orang yang, kata dia, sedang berada di warung makan.
Pada awal Juni itu, hampir bersamaan waktu dengan pergantian lima menteri dan Jaksa Agung, Presiden meminta Surojo Bimantoro mengundurkan diri.
Namun, Surojo Bimantoro menolak.
Pada tanggal 2 Juni 2001, Presiden melantik Inspektur Jenderal Chairuddin Ismail sebagai Wakil Kapolri.
Yang menarik, jabatan Wakil Kapolri ini sebenarnya telah dihapuskan oleh Presiden sendiri melalui Keppres Nomor 54 Tahun 2001 tertanggal 1 April 2001.
Kasus ini telah memuncakkan dualisme dalam tubuh kepolisian dan perseteruan Presiden dengan parlemen.
Pengangkatan Chairuddin Ismail memunculkan penolakan 102 jenderal polisi yang tidak menghendaki ada politisasi di tubuh Polri.
Masalah Polri ini semakin berlarut-larut.
Bertepatan dengan peringatan Hari Bhayangkara, 1 Juli, Presiden mengumumkan pemberhentian Kapolri nonaktif Surojo Bimantoro, dan akan menugasi mantan Asisten Operasi Mabes Polri itu sebagai Duta Besar RI di Malaysia.
Beberapa jam kemudian, lagi-lagi Surojo Bimantoro menolak.
Situasi Mabes Polri semakin panas, apalagi muncul pernyataan sikap para perwira menengah Polri, meminta Surojo Bimantoro ikhlas mundur, ditambah lagi berita akan ditangkapnya Surojo Bimantoro karena dianggap telah membangkang terhadap perintah Presiden.
Surojo Bimantoro tidak goyah, dan memaksa Presiden melakukan langkah lebih dramatis.
Pada tanggal 20 Juli 2001, dia melantik Chairuddin Ismail resmi sebagai Pejabat Sementara Kapolri, meski dengan bayaran yang mahal.
Pelantikan itu memicu krisis politik baru: DPR meminta MPR segera menyelenggarakan sidang istimewa, meski Presiden mengangkat Chairuddin Ismail hanya sebagai Pejabat Sementara Kapolri dengan pangkat jenderal penuh bintang empat.
Setelah Presiden Megawati Soekarnoputri dilantik, Chairuddin Ismail dicopot dari jabatannya.
Kini, Chairuddin Ismail menjadi politisi dengan menduduki jabatan sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai Hanura.
Chairuddin Ismail yang lahir di Wajo, 73 tahun lalu, dikenal dekat dengan mantan Panglima ABRI, Wiranto dan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
s: tribunnews.com